Kisah Menjemput Mimpi 12 : Puzzle : Kelas bagian 1

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Sahabat

Aku berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi teman dan ketua kelas yang baik bagi kawan-kawanku di kelas. Apalagi wali kelas kami sangat baik dan perhatian. Pak Latif, adalah wali kelasku. Kebetulan beliau juga salah satu pembina OSIS. Seringkali, ketika aku melapporkan keadaan kelas, kami juga membicarakan gimana keadaan OSIS. Beliau begitu perhatian dan sangat peduli dengan kelas.

Kawan-kawan ku pun di kelas sangat menyenangkan. Ada yang tampil begitu islami, ada yang sok pintar, ada yang bergaya seperti tukang kredit, dan ada yang menisbatkan dirinya sebagai anak  nakal. Dan yang terakhir ini yang paling banyak. Sebagian besar dari mereka –khususnya yang nakal- banyak yang jago olahraga, karena itu kalau  ada lomba olah raga kami tak pernah kalah, atau mungkin lebih tepatnya tak pernah mau mengalah. Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 11 : Sahabat

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Kisah Baru Saja Akan Dimulai

Sabtu dan Minggu saatnya platihan kepemimpinan dan rapat kepemimpinan (latpim rapim) OSIS akhirnya tiba juga. Beberapa jam yang lalu, acara sudah dimulai. Saat ini aku sudah duduk di kursi dengan meja panjang khas Ruang Laboratorium. Ruang Laboratorium Biologi-Kimia memang sengaja dipakai untuk aktivitas latpim rapim ini untuk dua hari ke depan. Beberapa alat laboratorium untuk sementara di kandangkan, dan tinggal bersisa 10 meja panjang yang berjejer dua ke samping dan 5 ke belakang. Satu meja berpasangan dengan 4 kursi kecil yang kami duduki satu-satu. Aku duduk di kursi paling kanan meja kiri nomor dua dari depan. Di samping kananku ada ruang kosong jarak antar meja yang sepertinya dijadikan tempat untuk berjalan nara sumber ketika ingin mendekati peserta.
Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 10: Kisah Baru Saja Akan Dimulai

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Siapa Namanya?

Bel istirahat sudah berbunyi segera aku menuju kopsis (koperasi siswa) untuk beli tempe goreng yang ekstra yahud di sana. Cukup beli tiga buah dengan bonus beberapa buah cabe sudah bisa mengenyangkan perut ini. Bukan karena porsi makanku sedikit, tapi ukuran tempe ini hampir sebesar ukuran kertas A5 dengan banyak tepung yang mengelilinginya. Bener-bener wenak dan mantap dilidah. Rasa krenyesnyapun terasa full saat dikunyah. Beginilah salah satu caraku mengisi waktu istirahat. Setelah selesai membeli tempe itu, seperti biasa aku langsung ke kelas. Dengan melewati lapangan tengah, aku bisa langsung menuju ke kelasku kelas X2. Kelas X3 juga aku lewati. Selalu ketika lewat kelas itu aku mencoba mencari-cari, siapa tahu ada sari di sana. Sampai hari ini aku dan Sari tak pernah kenalan. Begitulah, aku merasa tak pantas jika seorang cowok langsung berkenalan dengan cewek dengan maksud untuk jauh lebih dekat. Bagiku itu tidak etis.
Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 9 : Siapa Namanya?

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Pertemuan

Hasil seleksi Pengurus OSIS belum juga diumumkan. Sementara ini yang aku lakukan adalah belajar dan aktif di Pramuka dan Artistik. Belajar tentu aku lakukan setiap malam. Karna kalau tidak, Bapak akan menanyakan kenapa aku tidak belajar, apa memang tidak ada tugas, atau memang aku yang sedang malas. Oleh karena itu, setiap malam, meskipun terkadang hanya pura pura, aku bawa buku ruang tv, kemudian ku geletakkan di depanku, dan siap untuk nonton tv sambil belajar (bukan belajat sambil nonton tv). Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 8 : Pertemuan

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Selanjutnya Tangani Sendiri

“Gimana nilai nilai minggu ini gus?”
Bapak bertanya tentang akademikku. Hampir setiap malam Bapak selalu bertanya perkembangannya. Ya, Bapak adalah yang paling disiplin menjagaku untuk tetap sukses di akademik. Seringkali malah aku merasa tak ada kabar lain yang Bapak ingin tahu selain akademik itu.

“Alhamdulillah semuanya lancar Pak.”
“Nilainya gimana?”
“Di SMA beda Pak dengan SMP. PR jarang di cek dan di nilai. Nilai itu adanya di ujian atau ulangan.”
“Owh, yasudah. Berarti pas ulangan harus bisa ya.”
“Iya Pak.”

Kemudian Bapak melanjutkan menonton tv. Aku juga melanjutkan aktivitasku belajar sambil menonton tv.

Akhir akhir ini, aku, mama, dan Bapak hanya bisa banyak ngobrol saat malam sambil nonton tv, sambil belajar begini. Aku jadi semakin sering pulang sore. Kegiatan ekstra kurikuler sudah dimulai mulai dua minggu yang lalu. Selain OSIS yang sekarang juga sedang proses seleksi, aku juga memilih untuk ikut ekstrakurikuler, pramuka dan artistik.

Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 7 : Selanjutnya Tangani Sendiri

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Itu Aku

“Mbak, terus ya apa?” Aku takut ketahuan dan aku juga bertanya-tanya kenapa Mbak Sari ngisi formku begitu. Meskipun kalau ada kegiatan di SMP aku pasti terlibat lebih bahkan dari ketua OSISnya pun, tapi tetap saja aku bukan ketua OSIS dan mana mungkin aku bisa jadi Ketua OSIS dengan kondisi minoritas begini. Seharusnya yang menjadi ketua OSIS yangpaling berpeluang ya dari SMPN 1 Kalisat.

“Sudah, maju dulu sana. Cepetan. Ayo sikapnya lebih tegap, katanya mau jadi Ketua OSIS… hehe.” Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 6 : Itu Aku

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Gerbang Baru

Suasana kelas mulai hening. Aku duduk di bangku di tengah kelas. Di depan kelas, ada tiga OSIS yang baru masuk ke ruangan, salah satunya langsung mengambil spidol, dua OSIS yang lain menuju ke kursi dan meja guru. Selain tampak membawa absensi, mereka juga membawa sejumlah kertas bertuliskan “Form Pendaftara OSIS”. Setelah perkenalan, mereka mulai menjelaskan.

“Coba kita absen dulu. Saya pengen tau adek-adek ini dari sekolah mana saja?” Tanya Kak Vino, dia adalah salah satu pengurus OSIS. MOS sudah berlangsung tiga hari ini, pengenalan sekolah, guru, dan tata tertib sudah dilakukan. Hari ini akan dijelaskan tentang struktur kepengurusan OSIS. Kak Vino dan beberapa temannya ini yang akan menjelaskannya.

“Siap kak” Jawab teman-temanku serentak.

Bagiku sesi absen asal sekolah begini adalah sesi yang paling tak nyaman selama dua hari ini. Bagaimana tidak, lihat saja yang terjadi sebentar lagi. Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 5 : Gerbang Baru

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Ayam Jago Dari Jember Timur

Gerbang ini sepertinya akan semakin akrab denganku. Gerbang tanpa tulisan, di samping kirinya ada pos satpam. Seorang satpam dengan jenggot dan kumis brewok tampak berdiri di depan pos itu, mempersilahkan para siswa-siswi baru yang baru datang, ada yang sendirian, ada yang juga di atar orang tuanya. Aku, datang bersama dengan dua temanku yang juga Joko dan Roid, mereka di juga diterima di sekolah ini. Ya, inilah SMAN 1 Kalisat, SMANKAL, sekolah yang akhirnya aku pilih. Nama itu “SMAN 1 Kalisat” terpajang gagah di sisi kanan gerbang. Di bawahnya ada juga tulisan Jl. KH Dewantara No 42, Kalisat. Alamat yang ku tempuh sekitar setengah jam dari rumah dengan menggunakan motor. Sekitar 16 Km, itulah jarak yang harus aku lalui setiap hari, untuk sekolah di sini, pagi sewaktu berangkat dan siangnya sewaktu pulang, dengan jarak yang sama. Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 4 : Ayam Jago Dari Jember Timur

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Pelukan Mama

Aku, terus ku peluk mama. Air mataku sudah tak bisa ke luar lagi. Perlahan ku coba lihat wajah mama. Ada senyuman di wajah yang menenangkan itu.

“Kenapa ma? Kok mama malah senyum begitu? Gimana kata Pak Ahmad ma?”

“Hm…” Senyuman itu semakin terlihat dan jelas siapa yang dituju. Mama melanjutkan.

“Kamu yang kenapa? Memangnya ada apa? Kok nangis sampe begitu?”

Aku heran. Sebenarnya apa yang terjadi.

“Aku lulus ndak Ma? Apa kata Pak Ahmad Ma?” Baca lebih lanjut

Kisah Menjemput Mimpi 3 : Pelukan Mama

[sebuah cerita bersambung “Kisah Menjemput Mimpi”]

Tulisan sebelumnya : Bagaimana Jika Aku Tak Lulus

Seperti yang direncanakan sebelumnya, aku pulang bersama Pak Ahmad. Hal ini tentu membuatku sangat tak nyaman. Perjalanan pulang kali ini terasa begitu berat dan lama. Tak bisa ku bayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Rasa takut ‘tidak lulus’ dalam diri ini begitu besar, sampai sampai untuk melihat lurus ke depan pun aku tak sanggup. Sapaan beberapa teman dalam perjalanan pulang ini pun sengaja tak ku hiraukan. Usaha Pak Ahmad ngajak ngobrol pun tak begitu aku pedulikan.
“Bagus, kok diem aja? Ndak biasanya…”
Hanya itu saja kalimat yang aku dengar. Setelah itu sepertinya Pak Ahmad masih bicara, tapi entahlah apa yang dikatakannya. Aku sudah larut dalam obrolan pribadi antara aku dan aku, antara kecemasanku dan ketakutanku.

Baca lebih lanjut